Nikmat sehat memang rejeki paling
berharga. Karena kalau sudah sakit, yang ada semua merana. Ya fisik, emosi,
juga dompet. Meski ditanggung asuransi kesehatan pun, kadang ada aja biaya yang
harus dikeluarkan saat pengobatan.
Dan yang paling saya takutkan di kala
sakit adalah saat mendengar kata “operasi”. Membayangkan jaringan tubuh di-belek
meski untuk mengobati penyakit, rasanya perih ngiluu...! Padahal sekarang zamannya operasi minimal invasif ya, alias operasi dengan sayatan kecil aja. Tapi kedengarannya tetep mengerikan (buat Cemil).
Alhamdulillaah jadi ibu dari 2 jagoans, saya
melahirkan normal, dan sampai saat ini tak pernah didiagnosa penyakit yang
memerlukan penanganan operasi. Doain sehat terus yaa pemirsah.. Aamiin.
Ke Dokter THT
Eng ing eng... Kabar kurang baik malah
datang dari salah satu jagoan Cemil nih. Cerita awalnya, si sulung Zia, yang
saat ini kelas VII SMP, merasa agak kurang dengar. Dugaan saya, paling karena banyak kotoran di telinganya. Pergilah kita ke dokter THT di RS
terdekat dengan rumah, BMC Mayapada, Bogor. Dokter spesialis THT di RS swasta
ini ada 2 orang, dan ada 1 dokter yang dituju karena baik dan kami merasa cocok.
Singkat cerita, setelah dibersihkan
telinganya, sang dokter bilang, sepertinya ada radang. Maka Zia dirujuk untuk
melakukan Rontgen THT. Yaa.. sekalian aja deh mumpung di RS, hari itu juga rontgen
dan konsultasi supaya tuntas. Hasil rontgen dijabarkan lagi oleh sang dokter :
ada bayangan putih di rongga sinus sebelah kanan, yang harusnya bersih seperti
yang kiri. Dan diagnosa yang diterangkan adalah Sinus Maxilaris plus Polip! Pengobatannya
yang disarankan adalah operasi! Yang membuatnya harus operasi menurut dokter adalah adanya "kesan kista" pada hasil rontgen. Yaa Allah, mau bersihin kotoran kuping,
kenapa berujung harus operasi yak?
Saya melongo bin lemes. Ini anak gak ada panas, gak ada sakit, Cuma kurang denger doang.. disuruh operasi. Saya pastikan ke dokternya, apakah bisa dengan obat atau terapi saja? Jawabnya: tidak untuk jangka panjang. Obat-obat hanya bisa meringankan sakit, tidak menghilangkan, kata dokter. Jalan pengobatan tuntas, ya dengan operasi….. Gubrak! Tiba-tiba teringat seorang teman yang beberapa kali operasi sinus karena selalu kambuh. Duh. Saya yakinkan lagi, apakah dengan operasi pasti tidak akan kambuh lagi? Menurut dokter, jika ditangani masih seusia Zia (13 tahun) kemungkinan kambuh lagi kecil, alias hampir pasti sembuh total.
Gambaran sinus maksilaris (Pict: tempo.co) |
Saya melongo bin lemes. Ini anak gak ada panas, gak ada sakit, Cuma kurang denger doang.. disuruh operasi. Saya pastikan ke dokternya, apakah bisa dengan obat atau terapi saja? Jawabnya: tidak untuk jangka panjang. Obat-obat hanya bisa meringankan sakit, tidak menghilangkan, kata dokter. Jalan pengobatan tuntas, ya dengan operasi….. Gubrak! Tiba-tiba teringat seorang teman yang beberapa kali operasi sinus karena selalu kambuh. Duh. Saya yakinkan lagi, apakah dengan operasi pasti tidak akan kambuh lagi? Menurut dokter, jika ditangani masih seusia Zia (13 tahun) kemungkinan kambuh lagi kecil, alias hampir pasti sembuh total.
Dokter tak memaksa segera dilakukan
operasi, tapi tindakan itu disarankan. "Kasihan kalau gak dioperasi, bakal terus menderita dia", katanya. Sementara, pak Dokter memberi resep obat dulu, sambil memberi waktu saya untuk berfikir soal operasi.
Sampai rumah saya cerita dengan keluarga, dan kegalauan melanda. Antara mengikuti anjuran dokter, cari pengobatan alternatif, atau cari second opinion. Keluarga sibuk mikir, anaknya mah bebas as always, gak kayak orang sakit. Huahua..
Setelah seminggu berlalu Zia makan obat dokter, katanya telinganya "agak mendingan". Kata agak mendingan itu bikin cemas juga, karena berarti belum tuntas sehat/normal. Atas masukan dari kerabat dan rekan, maka diputuskan Zia diperiksakan ke dokter lain untuk mencari opini kedua.
Berhubung Spesialis THT ngetop banyak berada di Jakarta, maka perburuan dokter THT pun menyasar ke Jakarta. Saya gak mau ke dokter THT yang asal ngetop saja, melainkan yang juga menenangkan. Weits, ini sebenernya sih cari opini yang kontra operasi ya heheh. Tapi saya dan keluarga pasrah aja jika memang operasi jalan satu-satunya, tentu dengan alasan yang lebih meyakinkan.
Hunting dokter THT untuk second opini ini, selain dengan bertanya-tanya kepada yang punya pengalaman penyakit yang sama, juga dengan browsing di dunia maya. Dan setelah melalui serangkaian penelitian kualitatif dan kuantitatif (taelah), kesimpulannya kami akan konsultasi ke Prof. Dr. Zainul A. Djaafar, Sp.THT-KL (K), di RS Khusus THT-Bedah KL Proklamasi, di Jakarta Pusat. Profesor ini salah satu pendiri rumah sakit khusus THT tersebut. Ada banyak dokter recommended di sana, saya pilih Prof. Zainul karena beliau juga praktik di hari Sabtu. Hari Sabtu saya leluasa untuk mengantar Zia karena libur kerja.
Ambil nomor di mesin nomor, saya menunggu nomor antrian muncul di layar pemanggil. Mungkin karena saat itu masih pagi, tidak terlalu banyak yang antri. Nomor antrian saya pun tak lama dipanggil. Proses pendaftaran pasien baru sampai mendapat kartu pasien juga tidak lama, kurang dari 15 menit.
Sampai rumah saya cerita dengan keluarga, dan kegalauan melanda. Antara mengikuti anjuran dokter, cari pengobatan alternatif, atau cari second opinion. Keluarga sibuk mikir, anaknya mah bebas as always, gak kayak orang sakit. Huahua..
Hunting Dokter THT di Jakarta
Setelah seminggu berlalu Zia makan obat dokter, katanya telinganya "agak mendingan". Kata agak mendingan itu bikin cemas juga, karena berarti belum tuntas sehat/normal. Atas masukan dari kerabat dan rekan, maka diputuskan Zia diperiksakan ke dokter lain untuk mencari opini kedua.
Berhubung Spesialis THT ngetop banyak berada di Jakarta, maka perburuan dokter THT pun menyasar ke Jakarta. Saya gak mau ke dokter THT yang asal ngetop saja, melainkan yang juga menenangkan. Weits, ini sebenernya sih cari opini yang kontra operasi ya heheh. Tapi saya dan keluarga pasrah aja jika memang operasi jalan satu-satunya, tentu dengan alasan yang lebih meyakinkan.
Hunting dokter THT untuk second opini ini, selain dengan bertanya-tanya kepada yang punya pengalaman penyakit yang sama, juga dengan browsing di dunia maya. Dan setelah melalui serangkaian penelitian kualitatif dan kuantitatif (taelah), kesimpulannya kami akan konsultasi ke Prof. Dr. Zainul A. Djaafar, Sp.THT-KL (K), di RS Khusus THT-Bedah KL Proklamasi, di Jakarta Pusat. Profesor ini salah satu pendiri rumah sakit khusus THT tersebut. Ada banyak dokter recommended di sana, saya pilih Prof. Zainul karena beliau juga praktik di hari Sabtu. Hari Sabtu saya leluasa untuk mengantar Zia karena libur kerja.
Saya
kirim pesan WhatsApp ke nomor WA RS nya H-1 untuk pendaftaran, tapi pendaftaran via WA
ini hanya dicatat saja. Nomor antrian akan diberikan per kedatangan.
Ke RS THT Proklamasi
Hari Sabtu perjanjian konsultasi itu saya berdua Zia ke RS THT Proklamasi. Karena anaknya segar bugar bak pendekar, kami santai naik KRL Commuteline dari Bogor, turun di Cikini, lalu sambung naik ojek online ke lokasi, yang tidak sampai 5 menit jaraknya dari stasiun Cikini. Ah moda transportasi yang mudah dan nyaman gini memang yang dibutuhkan masyarakat.
Saya baru pertama kali menginjakkan kaki di RS THT Proklamasi itu. Gedungnya tampak tidak terlalu besar dari depan, dan lahan parkirnya terbatas. Masuk ke lobi RS, di sebelah kanan langsung tampak apotik dan loket kasir. Lurus ke depan terlihat beberapa kursi tunggu, loket pendaftaran dan lorong ruang periksa.
Loket Pendaftaran |
Ambil nomor di mesin nomor, saya menunggu nomor antrian muncul di layar pemanggil. Mungkin karena saat itu masih pagi, tidak terlalu banyak yang antri. Nomor antrian saya pun tak lama dipanggil. Proses pendaftaran pasien baru sampai mendapat kartu pasien juga tidak lama, kurang dari 15 menit.
Lorong tunggu depan ruang periksa |
Lalu kami dipersilakan masuk ke ruang tunggu yang cukup nyaman. Ada beberapa deret kursi dengan televisi di dinding. Atau bisa juga memilih duduk di beberapa kursi yang ada di lorong. Lorongnya semacam lorong hotel dengan deretan kamar, namun lebih sempit. Sekitar 30 menit kemudian Profesor yang ditunggu pun tiba. Zia dipanggil masuk nomor 3. Sang prof terlihat masih sehat meski rambutnya memutih. Beliau menanyakan detil maksud konsultasi kami.
Saya sodorkan hasil Rontgen dan cerita diagnosa dokter sebelumnya sampai pada saran dokter untuk operasi. Jujur saya dag-dig-dug akan kesimpulan profesor di hadapan saya. Setelah mengamati gambar Rontgen dan mendengarkan cerita saya, prof. Zainul pun bicara: "Kalau menurut saya, ini bukan khas kista ya, hanya kesan aja. Jadi tidak perlu operasi."
Antara bersyukur dan tidak percaya, tapi hati jelas girang lah.. Yang terucap dari mulut saya : "Alhamdulillaah.. Yakin prof, gak perlu operasi?" Ekspresi prof. Zainul kelihatan tanpa ada keraguan: "Iya, dari penampakan fisik dan Rontgen saya lihat gak perlu operasi. Untuk lebih yakinnya, kita cek semua aja ya, termasuk pendengarannya."
-To Be Continued...
Lanjut ke Bagian 2
Lanjut ke Bagian 2
0 comments: